Sabtu, 18 Desember 2010

Menari di Tengah Hujan

Pagi itu poliklinik sangat sibuk. Sekitar jam 09.30 pagi seorang pria berusia 70-an datang untuk membuka jahitan pada luka di ibu-jarinya.

Saya menyiapkan berkasnya dan meminta menunggu, sebab semua dokter masih sibuk, mungkin dia baru dapat ditangani setidaknya satu jam lagi. Dan sewaktu menunggu, pria tua itu nampak gelisah, sebentar-sebentar melirik ke jam tangannya. Saya merasa kasihan. Jadi ketika sedang luang saya sempatkan untuk memeriksa lukanya dan nampaknya cukup baik dan kering, tinggal membuka jahitan dan memasang perban baru. Pekerjaan yang tidak terlalu sulit, sehingga atas persetujuan dokter saya putuskan untuk melakukannya sendiri.

Sambil menangani lukanya aku bertanya apakah dia punya janji lain hingga nampak tergesa-gesa. Lelaki tua itu menjawab tidak, dia hendak ke rumah jompo untuk makan siang bersama istrinya, seperti yang dilakukannya seharii-hari. Dia menceritakan bahwa istrinya sudah dirawat di sana sejak beberapa waktu dan istrinya mengidap penyakit Alzheimer.

Lalu saya tanya apakah istrinya akan marah kalau dia datang terlambat. Dia menjawab bahwa istrinya sudah tidak lagi dapat mengenalinya sejak lima tahun terakhir. Saya sangat terkejut dan berkata, "Dan Bapak masih pergi kesana setiap hari walaupun istri Bapak tidak kenal lagi?"

Dia tersenyum, ketika tangannya menepuk tangan saya sambil berkata, "Dia memang tidak mengenali saya, tapi saya masih mengenali dia kan?"

Saya terus menahan air mata sampai kakek itu pergi, tangan saya masih tetap merinding, "Cinta kasih seperti itulah yang aku mau dalam hidupku."

Cinta sesungguhnya tidak bersifat fisik atau romantis. Cinta sejati adalah menerima apa adanya yang terjadi saat ini, yang sudah terjadi, dan yang tidak akan pernah terjadi.

Bagi saya pengalaman ini menyampaikan satu pesan penting: Orang yang paling berbahagia tidaklah harus memiliki segala sesuatu yang terbaik, mereka hanya berbuat yang terbaik dengan apa yang mereka miliki. "Hidup bukanlah perjuangan menghadapi badai, tapi bagaimana tetap menari di tengah hujan." 

(dikutip dari renungan harian)

Homili Waktu Pemberkatan Nikah

Ada rekaman Homili pendek dari seorang Pastor dalam misa Pemberkatan Nikah. Bunyinya:

Wanita adalah:
1. Orang yang akan mendampingimu seumur hidup,
2. Orang yang akan melahirkan anakmu, walau dengan penuh rasa sakit,
3. Orang yang merawatmu sampai tua,
4. Orang yang akan merawatmu pada saat kau sakit,
5. Orang yang akan selalu mendukung walau kau gagal berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus   kali,
6. Orang yang akan memberikan hidupnya untukmu. Bahkan ia membuang egonya demi bersamamu. Bahkan saat kau menyakitinya, ia tetap berada disampingmu.

Sedangkan Pria adalah :
1. Orang yang akan menjagamu seumur hiduomu,
2. Orang yang akan berkorban untukmu,
3. Orang yang akan menafkahimu,
4. Orang yang merawatmu pada saat kau sakit,
5. Orang yang akan memelukmu pada saat kau sedih,
6. Orang yang ingin membuatmu bahagia.

Mereka semua (pria dan wanita) sama berharganya, hanya saja mereka mempunyai perbedaan yang kadang membuat mereka menyakiti satu sama lainnya, dan itu hanya dapat diatasi dengan pengertian dari kedua belah pihak.

Hidup itu singkat...terlalu singkat untuk berbagai pertengkaran. Mengapa tidak kau bahagiakan saja pasanganmu, dan mengisi hari-harimu dengan penuh cinta, dan membuat pasanganmu tersenyum lebih lebar tiap harinya?

Bukankah itu lebih baik dan berbahagia dibanding saling menyakiti satu sama lain? Walaupun banyak permasalahan suami istri seharusnya menapaki jalan satu sama lain, tetapi kenyataannya tak mudah untuk melaluinya, bahkan terkadang pasangan enggan untuk melaluinya.